Pengertian Shalat 'Id.
Shalat ‘Id itu ada dua macam;
Shalat ‘Idul Fithri dan Shalat ‘Idul Adha
1. Shalat 'Idul
Fithri ialah shalat dua raka'at yang dilaksanakan pada tanggal 1 Syawwal.
2. Shalat 'Idul
Adha ialah shalat dua raka'at yang dilaksanakan pada tanggal 10 Dzul Hijjah.
Hukum shalat 'Id adalah sunnah
muakkadah, karena sejak disyari'atkannya Shalat 'Id (tahun dua Hijriyah) sampai
akhir hayatnya, Rasulullah senantiasa melaksanakannya. Jumlah raka'atnya ada
dua raka'at. Waktunya sejak Saat matahari naik sepenggalah sampai dengan saat
zawal (matahari condong sedikit ke barat). Dalam melaksanakan Shalat 'Id,
disunnahkan berjama'ah dan setelah Shalat, imam disunnahkan membaca dua kali
khotbah seperti khothbah Juma'ah.
Tempat Pelaksanaan Shalat 'Id
Perlu kita ketahui bahwa pelaksanaan Shalat 'Id itu, tidak disyaratkan
harus di masjid. Ini artinya umat Islam boleh melaksanakannya di masjid dan
boleh juga di tempat yang bukan masjid. Mari kita perhatikan perilaku
Rasulullah SAW , tinadakan shahabat dan beberapa pendapat ulama mujtahid di
bawah ini:
a. Hadist riwayat
Imam Bukhari dan Imam Muslim
عَنْ
أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ
نُخْرِجَ إلى المصلى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ في العيدين وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ
وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ. (متفق عليه)
Artinya:
Dari Ummi 'Athiyah, dia berkata: kita diperintahkan
oleh Nabi untuk mengajak para gadis dan perempuan yang sedang haidl
keluar/pergi ke mushalla (tempat Shalat) pada hari raya, agar mereka
menyaksikan hal-hal yang baik dan do’a kaum muslimin. (HR. Bukhari dan Muslim)
b. Hadits
riwayat Imam Muslim
عَنْ
أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ
نُخْرِجَهُنَّ فِى العيدين الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمر الْحُيَّضُ
أن يَعْتَزِلْنَ مصلى الْمُسْلِمِينَ.
Artinya :
“Dari Ummi 'Athiyah, dia berkata: Nabi memerintahkan agar kita
mengajak keluar pada hari raya para gadis dan wanita yang dipingit. Dan beliau
memerintahkan agar wanita yang sedang haidl menjauh dari lokasi mushalla kaum
muslimin”. (HR. Muslim).
Dua buah hadits ini,
pengertiannya tidak menunjukkan bahwa Nabi melakukan shalat id di sembarang
lapangan, sebagaimana yang difahami oleh sebagian komunitas muslim Indonesia.
Akan tetapi hadits tersebut memberi pengertian bahwa Nabi melaksanakan shalat
hari raya di mushalla/tempat shalat yang memang dikhususkan untuk shalat id.
Ingat kata المصلى dalam hadits yang pertama
diberi al mu’arrifah yang mempunyai arti mushalla tertentu,
dan dalam hadits kedua dimudlofkan pada kata المسملين. (mushallanya orang-orang Islam).
ma’na “mushalla” itu
sendiri, secara bahasa biasa difahami sebagai tempat shalat, namun secara
terminology, ’Umar bin Abi Syaibah berkata: “Mushalla dengan men-dhammah-kan “mim” adalah
sebuah tempat yang luas berada di luar pintu masuk kota Madinah (sebelah
timur), kira-kira jaraknya seribu hasta dari pintu Masjid Nabi. (lihat: Umdatul
Qari’ oleh: ‘Al-Allamah Al-‘Ainie V/ 279, ‘Aunul Barie li Halli Adillati
Shahihil Bukharie oleh: Al-‘Allamah Sayyid Shiddieq Hasan Khan II/ 364,
Hal ini sesuai dengan keterangan dalam kitab
Subulus Salam syarah Bulughul Maram juz II hal. 69
كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا كَانَ يَوْمُ الْعِيدِ خَالَفَ
الطَّرِيقَ .أَخْرَجَهُ
الْبُخَارِيُّ، يَعْنِي أَنَّهُ يَرْجِعُ مِنْ مُصَلَّاهُ مِنْ جِهَةٍ غَيْرِ
الْجِهَةِ الَّتِي خَرَجَ مِنْهَا إلَيْهِ.
Artinya :
“Bahwasanya ketika hari raya, Rasulullah menempuh
jalan yang bebeda, yakni kembali dari mushallanya melewati arah yang tidak
beliau lewati sewaktu berangkat menuju mushalla”.
Dan sesuai dengan kitab
Subulus Salam juz II hal. 67 :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إلَى الْمُصَلَّى وَأَوَّلُ شَيْءٍ
يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ
وَالنَّاسُ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيَأْمُرُهُمْ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
إلى أن قال: فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى شَرْعِيَّةِ الْخُرُوجِ إلَى الْمُصَلَّى ،
وَالْمُتَبَادَرُ مِنْهُ الْخُرُوجُ إلَى مَوْضِعٍ غَيْرِ مَسْجِدِهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَهُوَ كَذَلِكَ فَإِنَّ مُصَلاَّهُ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَحَلٌّ مَعْرُوفٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ بَابِ مَسْجِدِهِ أَلْفُ
ذِرَاعٍ.
Artinya :
“Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari raya Idul Fitri dan Idul
Adlha keluar ke mushalla (Al-Hadits). Hadits ini sebagai dalil disyari’atkannya
keluar menuju/ke mushalla. Dari hadits ini pula dengan mudah difahami bahwa
keluarnya Nabi itu ke sebuah tempat yang bukan masjid dan memang benar
demikian, karena sesungguhnya mushallanya Nabi itu berupa suatu tempat yang
telah diketahui oleh banyak orang yang mana jarak antara mushalla dan pintu
masjidnya Nabi ada seribu dzira’ (± 500 m.)
Kemudian masalah wacana masjid
harus dikosongkan dan orang-orang harus berbondong-bondong pergi ke lapangan,
jelas ini tidak sesuai dengan tindakan sababat Nabi dan ijtihad para ulama.
Mari kita simak
keterangan-keterangan kitab di bawah ini :
a.
Kitab
Subulus Salam juz II hal. 71 :
وَقَدْ
اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ عَلَى قَوْلَيْنِ هَلْ الْأَفْضَلُ فِي صَلَاةِ الْعِيدِ
الْخُرُوجُ إلَى الْجَبَّانَةِ أَوْ الصَّلَاةُ فِي مَسْجِدِ الْبَلَدِ إذَا كَانَ
وَاسِعًا ؟ الثَّانِي: قَوْلُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ إذَا كَانَ مَسْجِدُ
الْبَلَدِ وَاسِعًا صَلَّوْا فِيهِ وَلَا يَخْرُجُونَ، وَالْقَوْلُ الْأَوَّلُ
لِلْهَادَوِيَّةِ وَمَالِكٍ أَنَّ الْخُرُوجَ إلَى الْجَبَّانَةِ أَفْضَلُ، وَلَوْ
اتَّسَعَ الْمَسْجِدُ لِلنَّاسِ وَحُجَّتُهُمْ مُحَافَظَتُهُ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ذَلِكَ ؛ وَلِقَوْلِ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ
فَإِنَّهُ رُوِيَ أَنَّهُ خَرَجَ إلَى الْجَبَّانَةِ لِصَلَاةِ الْعِيدِ، وَقَالَ
: لَوْلَا أَنَّهُ السُّنَّةُ لَصَلَّيْت فِي الْمَسْجِدِ، وَاسْتَخْلَفَ مَنْ
يُصَلِّي بِضَعَفَةِ النَّاسِ فِي الْمَسْجِدِ. إهـ باختصار
Artinya :
“Pendapat para ulama berbeda menjadi dua dalam hal shalat
id,manakah yang afdlol, apakah dilaksanakan di tanah lapang ataukah di masjid
yang luas? Imam Syafi’i berpendapat apabila masjid di sebuah negeri itu luas,
maka kaum muslimin melaksanakan shalat id di masjid tidak usah keluar ke tanah
lapang. Golongan Hadawiyah dan Imam Malik berpendapat : keluar ke tanah lapang
itu lebih afdlol walaupun masjidnya luas, alasan mereka karena selalu
melaksanakannya di tanah lapang. Dan perkataan Sayyidna Ali ketika beliau
keluar ke tanah lapang utnk melaksanakan shalat id : andaikata hal itu bukan
sunnah niscaya aku shalat di masjid, dan beliau istikhlaf/menunjuk orang lain
agar melaksanakan shalat id di masjid bersama kaum yang tidak mampu.
b.
Kitab
Al-Madzahibul Arba’ah juz II hal. 71 :
وَمَتَى
خَرَجَ اْلإِمَامُ لِلصَّلاَةِ فِيْ الصَّحْرَاءِ نُدِبَ لَهُ أَنْ يَسْتَخْلِفَ
غَيْرَهُ لِيُصَلِّيَ بِالضُّعَفَاءِ الَّذِيْنَ يَتَضَرَّرُوْنَ بِالْخُرُوْجِ
إِلَى الصَّحْرَاءِ لِصَلاَةِ الْعِيْدِ بِأَحْكَامِهَا الْمُتَقَدِّمَةِ، لأَنَّ
صَلاَةَ الْعِيْدِ يَجُوْزُ أَدَاؤُهَا فِيْ مَوْضِعَيْنِ.
Artinya :
“Bila pemimpin negara melaksanakan shalat id di shahra’, dia
disunnatkan agar istikhlaf/menunjuk orang lain untuk melakukan shalat id
bersama orang yang tidak mampu yang merasa berat untuk keluar ke shahra’ dengan
beberapa keterangan hukum yang terdahulu, karena shalat id itu boleh
dilaksanakan di dua tempat.
c.
Kitab
Asy-Syarwani Alat Tuhfah :
وَيَسْتَخْلِفُ
نَدْبًا إِذَا ذَهَبَ إِلَى الصَّحْرَاءِ مَنْ يُصَلِّى فِيْ الْمَسْجِدِ
بِالضَّعَفَةِ وَمَنْ لَمْ يَخْرُجْ.
Artinya :
“Hukumnya Sunnat ketika pemimpin negara pergi ke shahra’
menunjuk seseorang untuk melaksanakan shalat id di masjid bersama orang-orang
yang tidak mampu dan orang-orang yang tidak ikut keluar ke shahra’”.
d.
Kitab Fathul
Wahhab juz I hal. 83 :
(وَفِعْلُهَا بِمَسْجِدٍ أَفْضَلُ)
لِشَرَفِهِ (لاَ لِعُذْرٍ) كَضِيْقِهِ فَيُكْرَهُ فِيْهِ لِلتَّشْوِيْشِ
بِالزِّحَامِ وَإِذَا وُجِدَ مَطَرٌ أَوْ نَحْوُهُ وَضَاقَ الْمَسْجِدُ صَلَّى
اْلاِمَامُ فِيْهِ وَاسْتَخْلَفَ مَنْ يُصَلِّي بِبَاقِي النَّاسِ بِمَوْضِعٍ
آخَرَ. (وَإِذَا
خَرَجَ) لِغَيْرِ الْمَسْجِدِ (اسْتَخْلَفَ) نَدْبًا مَنْ يُصَلِّي وَيَخْطُبُ
(فِيْهِ) بِمَنْ يَتَأَخَّرُ مِنْ ضَعَفَةٍ وَغَيْرِهِمْ.
Artinya :
“Melaksanakan shalat id di
masjid itu lebih afdlol, karena masjid adalah tempat yang mulia, jika tidak ada
udzur seperti sempitnya masjid. Kalau keadaan masjid itu sempit maka makruh
hukumnya shalat ‘id di masjid karena
orang-orang merasa tertanggu disebabkan berdesakan. Bila terjadi hujan atau semisalnya sedangkan
mesjidnya sempit maka pemimpin negara melaksanakan shalat di
masjid dan dia istikhlaf/menunjuk orang lain agar melaksanakan shalat di tempat
lain. Dan apabila pemimpin negara keluar untuk melaksanakan shalat di tempat
selain masjid dia disunnatkan istkhlaf/menunjuk orang lain
melaksanakan shalat id sekalian berkhotbah di masjid bersama orang yang
tertinggal, baik orang yang tidak mampu atau yang lain.
e.
Kitab Al-Madzahibul Arba’ah juz I
hal. 351 :
الشَّافِعِيَّةُ
قَالُوْا : فِعْلُهَا فِي الْمَسْجِدِ أَفْضَل لِشَرَفِهِ إِلاَّ لِعُذْرٍ
كَضِيْقِهِ فَيُكْرَهُ فِيْهِ لِلزِّحَامِ وَحِيْنَئِذٍ يُسَنُّ الْخُرُوْجُ
لِلصَّحْرَاءِ.
Artinya :
“Golongan madzhab Syafi’i berpendapat : melaksanakan shalat id
di masjid itu lebih utama karena masjid itu tempat yang mulia, kecuali karena
udzur seperti sempitnya masjid, maka hukumnya makruh melaksanakannya di masjid
karena berdesakan. Jika demikian halnya, maka disunnatkan keluar ke shahra’”.
Uraian :
1. Setelah
memahami beberapa hadits tentang pelaksanaan shalat id, para ulama kita
berkesimpulan bahwa lapangan yang ada di zaman sekarang ini di banding dengan
mushallal id nya Nabi, itu jelas tidak ada kesamaan sama sekali. Hal ini bisa
kita fahami :
a. Dari hadits
Ummi ‘Athiyah yang menerangkan bahwa mushallanya Nabi itu terpelihara
kehormatannya dan kesuciannya. Hal ini terbukti dalam riwayat tersebut bahwa
wanita yang sedang haidl di perintahkan agar menjauh dari mushalla. Sedangkan
lapangan kita sama sekali tidak terpelihara kehormatan dan kesuciannya, mungkin
ada kotoran binatang, bahkan kotoran manusia di situ.
b. Dari hadits
riwayat Abi Sa’id, bahwa mushallal id nya Nabi adalah sebidang tanah yang telah
ditentukan/diketahui oleh banyak orang bahwa sebidang tanah itu adalah tempat
shalat id.
وَعَنْهُ
أَيْ أَبِيْ سَعِيْدٍ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى.
Kemudian riwayat tersebut disyarahi/ diperjelas
oleh syaikh Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani sebagai berikut :
فَإِنَّ
مُصَلاَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَحَلٌّ مَعْرُوْفٌ، بَيْنَهُ
وَبَيْنَ بَابِ مَسْجِدِهِ أَلْفُ ذِرَاعٍ. (سبل السلام شرح بلوغ المرام جزء ثاني
ص 67)
Sedangkan lapangan kita -sebagaimana banyak orang
tahu- adalah tempat berbagai macam kegiatan, bahkan sering ditempati kegiatan
maksiat dan perbuatan munkarat.
2. Karena
sesuai dengan apa yang diamalkan oleh sahabat Ali ra dan difatwakan oleh para
Imam madzhab : apabila pimpinan negara melakukan shalat di As-Shahra’ (isim
ma’rifat, bukan sembarang lapangan) maka dia disunnatkan istikhlaf/menunjuk
orang lain untuk melakukan jamaah shalat id di masjid, tanpa mengosongkannya
begitu saja.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar